corat-coret
Rabu, 12 November 2008
  Popularitas SBY Naik

TEMPO Interaktif, Jakarta:Peneliti Lembaga Survey Indonesia (LSI) Anies Rasyid Baswedan mengatakan popularitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjelang akhir tahun ini mengalami peningkatan. "Jajak pendapat ini menemukan popularitas SBY meningkat menjadi 67 persen dibandingkan 56 persen pada tahun lalu," katanya dalam acara Refleksi dan Harapan Ekonomi-Politik 2006-2007 dan Evaluasi Publik Nasional di Hotel Sari Pan Pasific Kamis (28/12).

Menurut Anies, popularitas itu muncul karena penilaian publik atas kinerja pemerintahan yang dianggap baik. Dalam penelitian sebelumnya popularitas pemerintahan SBY sempat menurun pada kurun waktu Juli 2005 hingga Maret 2006. "Agak mengagetkan pada bulan Agustus-Oktober 2006 popularitas SBY naik dari 58 persen menjadi 67 persen. Namun setelah itu stabil," katanya. Hal itu disebabkan adanya iklim baru dan stabilitas keamanan, politik dan ekonomi.

Untuk menjaga validitas data, kata Anies, lembaganya juga membandingkan penilaian ini dengan popularitas elit politik lain. "Dibandingkan elit politik lain SBY mendapatkan suara terbanyak 48 persen," katanya. Megawati, kata dia, menjadi pesaing terkuat dengan 17 persen. Sedangkan Kalla, Wiranto, Amien dan Hidayat NUr Wahid yang rata-rata hanya 3 persen.

"Menurut hasil jajak pendapat ini, jika dilakukan pemilu presiden hari ini maka SBY- lah yang akan menjadi pemenang," katanya. Survei menemukan hasilnya SBY memperoleh suara 56 persen sedangkan tokoh lain hanya 34 persen, dengan responden yang menyatakan tidak tahu 10 persen. "Sedangkan Jusuf Kalla popularitasnya masih di bawah Presiden," katanya.

Direktur Eksekutif CIDES Umar Juworo mengatakan popularitas SBY yang meningkat ini tidak mengherankan. Karena, katanya, penilaian publik bukan atas keberhasilan pemerintahannya tetapi berdasarkan sosok atau figur SBY yang dinilai cukup. "Apalagi kondisi Indonesia sudah sangat parah," katanya.

Umar membandingkan dengan kondisi yang sama pada pemerintahan Megawati. Ketika itu popularitas Mega hanya 35 persen atau hanya separuh dari SBY. "Belum ada calon yang mampu menggantikan SBY," katanya.

Direktur Eksekutif Sugeng Sarjati Sindicate Sukardi Rinakit mengatakan Kepuasan rakyat kepada SBY didasari pada sumber daya politik dan sumber daya Sosial yang tinggi. Sumber daya sosial itu, kata dia, gelar doktor, jenderal, haji dan mandiri.

Menurutnya, popularitas SBY naik, karena adanya kelompok dramatis yang menilai secara mudah dan sudah biasa dengan kesusahan. "Kaum ini disebut abangan," katanya.
Eko Ari Wibowo

Kamis, 28 Desember 2006 | 15:18 WIB

Sumber: Lembaga Survey Indonesia (LSI)


 
Minggu, 09 November 2008
  politikita: Caleg PDP Berikrar Tidak Selingkuh
politikita: Caleg PDP Berikrar Tidak Selingkuh




 
  Pasca Eksekusi Amrozi Cs, Australia Dorong Larang Hukuman Mati

Nograhany Widhi K - detikNews

ydney - Terpidana bom Bali I Amrozi Cs yang telah dieksekusi Minggu (9/11/2008) telah membuat Australia lega. Namun, itu tidak membuat Australia menyetujui hukuman mati dan malah mendorong dunia internasional melarang hukuman itu.

"Australia tentu sejak dulu menentang hukuman mati," ujar Menteri Luar Negeri Australia Stephen Smith beberapa jam setelah eksekusi Amrozi Cs kepada stasiun televisi ABC seperti dilansir news.com.au, Minggu (9/11/2008).

"Kita mendorong negara-negara yang melanjutkan hukuman mati untuk tidak melakukannya lagi," imbuh Smith.

Dikatakan Smith, dalam waktu dekat Australia akan menjadi co-sponsor resolusi di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk menunda hukuman mati. Di Australia, ada oposisi bipartisan dalam tingkat negara maupun federal dalam perdebatan hukuman mati ini.

Tapi, imbuh dia, hari ini merupakan hari yang sedih bagi korban bom Bali I dan keluarganya. "Hati kita tertuju pada keluarga (korban)," kata Smith.(nwk/nrl)

Ingin berita yang lain tentang Amrozi

Label:

 
Jumat, 07 November 2008
  "Electoral College", Demokrasi ala AS
Jika ada yang khas dalam pemilu presiden AS, salah satunya yang disebut ”electoral college”. Seperti tertuang dalam Konstitusi AS, presiden AS tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, tetapi melalui sekelompok warga negara yang disebut ”electoral college”

Meskipun dilangsungkan di seluruh negeri, pemilu AS bukan pemilu nasional, tetapi lebih serangkaian pemilu di level negara bagian yang memutuskan anggota electoral college. Suara mereka disebut electoral votes, yang dibedakan dari suara pemilih (popular votes).

Secara teknis, bisa dibilang pemilih tidak memilih kandidat presiden, tetapi memilih sekelompok orang yang akan memilih kandidat presiden dan wakil presiden saat mereka bertemu. Biasanya, mereka akan bertemu pada Senin pertama setelah Rabu kedua di bulan Desember. Tahun ini, mereka akan bertemu pada 15 Desember untuk memformalkan pemilu.

Electoral college terdiri atas 538 orang dari 50 negara bagian yang komposisinya sesuai jumlah perwakilan negara bagian di Kongres AS (435 anggota DPR AS/House of Representatives dan 100 anggota Senat). Washington DC, daerah ibu kota, yang tidak memiliki perwakilan di Kongres AS, diberi 3 electoral votes, jumlah minimal yang dimiliki negara bagian terkecil.

Cara pemilihan anggota electoral college bermacam-macam di setiap negara bagian. Biasanya mereka dipilih melalui konvensi partai politik atau pemungutan suara di komite pusat partai.

Untuk bisa menjadi presiden, seorang kandidat harus mendapat minimal 270 electoral votes. Jika tidak ada kandidat yang meraih electoral votes minimal, DPR AS akan menentukan siapa yang menjadi presiden sesuai dengan Amandemen Konstitusi AS ke-12.

Setiap negara bagian, kecuali Maine dan Nebraska, memberikan electoral votes dengan sistem pemenang mengambil semua (winner takes all). Artinya, kandidat yang memenangi suara pemilih (popular votes) di negara bagian akan mengambil seluruh electoral votes yang dimiliki negara bagian itu.

Di Maine dan Nebraska, electoral votes didistribusikan sesuai metode distrik kongres. Pemenang di setiap distrik akan mendapatkan satu electoral votes dan pemenang di seluruh negara bagian akan mendapat tambahan dua electoral votes.

Anggota electoral college bebas memilih kandidat mana pun, tetapi biasanya mereka telah berjanji untuk memilih kandidat tertentu. Mereka disarankan untuk memilih sesuai hasil pemilu di negara bagiannya.

Reformasi?

Sangat mungkin seorang kandidat presiden memenangi electoral votes lebih banyak dan menjadi presiden walaupun kalah suara pemilih secara nasional. Itu terjadi tiga kali dalam sejarah AS, yaitu tahun 1876, 1888, dan 2000.

Hal itulah yang memicu kritik terhadap sistem electoral college yang justru disebut tidak demokratis. Namun, untuk mengubah sistem itu terbilang sulit. David Lublin, dosen ilmu pemerintahan di American University, Washington, seperti dikutip CNN mengatakan, reformasi sistem electoral college untuk memilih presiden AS memerlukan upaya luar biasa dan konsensus.

Salah satu alasan, menurut Lublin, adalah sulitnya melakukan amandemen konstitusi AS. Langkah pertama yang diperlukan adalah pengajuan usulan oleh Kongres AS yang disetujui dua pertiga suara, baik di DPR maupun Senat. Sebanyak tiga perempat negara bagian harus meratifikasinya.

”Banyak Demokrat berpikir kekalahan kandidat mereka pada pemilu presiden tahun 2000 menunjukkan reformasi mendesak dilakukan. Akan tetapi, pendukung Republik melihat upaya mengubah sistem sebagai upaya mendiskreditkan kemenangan kandidat mereka,” kata Lublin.

Sejumlah negara bagian juga akan sulit meratifikasi usulan perubahan sistem electoral college. ”Banyak orang menyukai fakta bahwa sistem electoral college merefleksikan sistem federal di AS. Mereka memandang upaya untuk menghapuskan sistem itu sebagai serangan atas federalisme dan kekuatan negara bagian,” ujar Lublin.

Pertarungan ketat dengan hasil yang selisihnya sangat tipis antara George W Bush (Republik) dan Al Gore (Demokrat) pada pemilu tahun 2000 di Florida beserta dampaknya memicu seruan reformasi electoral college. Waktu itu, Bush meraih 271 electoral votes dari 30 negara bagian, sedangkan Gore memperoleh 266 electoral votes dari 20 negara bagian plus Washington DC. Namun, Bush memperoleh 50.456.002 suara popular (47,9 persen) dan Gore mendapat 50.999.897 suara popular (48,4 persen).

Ironisnya, menurut Lublin, belum ada mekanisme untuk memecahkan kasus semacam itu. ”Pemilu tahun 2000 menunjukkan pentingnya detail legal dan perlunya kesiapan saat pemilihan berakhir dengan selisih sangat tipis. Pemilu nasional, yang berdasarkan suara rakyat, barangkali sudah di depan mata. Namun, diperlukan rencana matang di level federal dan konsensus yang lebih dari yang ada sekarang untuk membuatnya berhasil,” tutur Lublin.

(Fransisca Romana Ninik)

Sumber: http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/03/03355827/



 
  4 November Bukanlah Pemilihan Presiden, Namun Pemilihan Electoral College
Washington (SIB)

Pemilihan presiden AS 4 November mendatang memiliki sesuatu keunikan. Tidak seperti pemilihan presiden di Indonesia yang ditentukan oleh jumlah suara terbanyak, pemilihan presiden di negara Paman Sam ditentukan oleh suara elektoral terbanyak yang diraih kandidat.

Dalam pemilu tahun 2000 lalu, calon presiden Demokrat, Al Gore kalah dari George W. Bush walaupun sebenarnya Al Goer meraih total suara lebih banyak. Hal ini disebabkan pemilihan umum di Amerika didasarkan pada electoral college dan setiap negara bagian memiliki sejumlah electoral college yang setara dengan jumlah delegasi mereka di Kongres.

Jadi, misalnya, negara bagian Ohio punya 20 suara electoral college karena memiliki 18 anggota kongres, dan 2 senator. Dan kandidat presiden yang meraih suara terbanyak di negara bagian akan meraih seluruh electoral college. Namun aturan itu tidak berlaku di dua negara bagian, yaitu Maine dan Nebraska.

Hal itu telah ditetapkan di Konsitusi AS. Konstitusi yang dibuat 220 tahun silam tidak memberikan hak dasar bagi rakyat Amerika untuk memilih langsung presiden. Dalam penentuan pemenang, maka kandidat yang menjadi Presiden adalah yang meraih suara di satuan daerah pemilihan atau electoral college, terbanyak.

Di Amerika Serikat, electoral college seluruhnya berjumlah 538, dan pemenang sedikitnya harus meraih 271 electoral college. Jumlah itu berasal dari 435 anggota DPR, 100 senator dan tiga elektor untuk Washington DC.

Sistem electoral college ini mengundang pro dan kontra, seperti dijelaskan pakar sejarah kepresidenan Amerika Serikat Alan Lichtman. “Argumentasi yang mendukung adalah, anda tidak bisa mengabaikan sebuah negara bagian karena mereka setidaknya memiliki tiga suara electoral college,” kata Lichtman.

Jadi calon presiden harus memperhitungkan semua negara bagian atau harus berkampanye secara nasional. “Namun sistem ini dianggap mengacaukan kampanye, karena kandidat hanya akan memusatkan diri pada kampanye di negara-negara bagian yang memiliki electoral college tinggi namun belum jelas pemilihnya mendukung siapa,” tambah Lichtman.

Kerumitan juga terjadi dalam hal pemungutan suara karena pemungutan suara diselenggarakan oleh negara bagian masing-masing. Dengan demikian cara pemungutan suara bisa sangat beragam, tergantung dari kebijakan negara masing-masing.

Jadi, akan ada warga yang melakukan pemungutan suara dengan menggunakan kartu, menarik gagang pada mesin khusus, atau menggunakan layar monitor khusus, scanner optik, maupun surat suara biasa.

Selain itu masih ada lagi pemungutan suara lewat pos, yang menjadi masalah dalam pemilihan tahun 2000 di Florida. Saat itu terjadi kekisruhan atas apa yang seharusnya dilakukan terhadap surat suara lewat surat yang terlambat datang.

Obama dan Biden Raih 52 Persen, McCain dan Palin 39 Persen
Dalam perkembangan lainnya, menjelang pemilihan presiden AS yang semakin dekat menunjukkan capres Demokrat Barack Obama unggul jauh dari rivalnya capres Republik John McCain. Dari hasil polling akhir CBS-NY Times seperti dilansir Associated Press, Jumat (31/10), menunjukkan capres Obama dan cawapres Joe Biden meraih 52 persen.

Sedangkan capres McCain dan cawapres Sarah Palin meraih 39 persen. Poling juga mengindikasikan naiknya kekhawatiran publik terhadap palin. Jumlah warga yang menyatakan Palin belum siap menjadi capres naik dari 50 persen pada bulan lalu jadi 59 persen.
Sementara itu, prospek Obama mengalahkan McCain dan menjadi presiden AS ke-44 mungkin terjadi lebih cepat sesaat setelah voting pertama di negara-neghara bagian AS yang berada di wilayah timur ditutup.

Jika Obama memenangkan satu dari empat negara bagian pertarungan penting - Ohio, Florida, Virginia atau North Carolina, akan membuat McCain hampir sulit memenangkan pertarungan. Obama diperkirakan akan memenangkan semua negara bagian yang pernah dimenangkan John Kerry pada pemilihan presiden 2004.

Bahkan senator Illinois itu difavoritkan menang di dua negara bagian yang dimenangkan Bush empat tahun silam yakni Iowa dan New Mexico. Jika berhasil, Obama meraih 264 elektoral sehingga Obama tinggal memerlukan enam suara elektoral.

Sedangkan bagi McCain, kemenangan di keempat negara bagian di mana Ohio memiliki 20 suara elektoral, Virginia (13), North Carolina (15) dan Florida (17), senator Arizona itu masih memerlukan suara tambahan lebih besar. Dari hasil polling AP menunjukkan Obama mengungguli McCain 48-41 di Ohio, 49-42 suara elektoral di Virginia. Sedangkan di Florida dan North Carolina, Obama unggul 2 poin. (AP/BBC/WH/g)

Sumber: http://hariansib.com/2008/11/01/4-november-bukanlah-pemilihan-presiden-namun-pemilihan-electoral-college/

 
  Kemenangan Obama Akhiri Tradisi White Anglo-Saxon Protestant
Catat Rekor Suara, Guncang Huruf W

Melalui pemilu, Selasa (4/11/08), rakyat Amerika memberikan mandat kepada Barack Obama untuk jadi presiden periode 2009-2013. Dengan terpilihnya Obama, rakyat Amerika mengakhiri hukum besi atau tradisi lama di sana bahwa hanya warga yang berciri khas WASP (White Anglo-Saxon Protestant) yang menjadi presiden.

Memang pernah ada perkecualian, yaitu saat John F. Kennedy yang beragama Katolik menang Pemilu 1960. Tapi, kemenangan Obama lebih dahsyat karena dua hal. Pertama, karena kemenangan Obama mengguncang kategori atau huruf pertama (W), sementara Kennedy mengguncang kategori atau huruf terakhir (P) dari WASP itu.

Kedua, suara Obama amat meyakinkan dan rekor baru. Angka sementara saja sudah 349 electorate college, jauh melebihi John McCain (147), dan jauh melebihi perolehan George Bush yang tak pernah lebih dari angka 286.

Tiga pelajaran bisa kita ambil dari pilihan rakyat Amerika atas Obama itu. Pertama, rakyat Amerika menyampaikan pesan jelas kepada dunia bahwa harus ada perubahan politik luar negeri.

Kedua, rakyat Amerika bergerak maju, dengan tidak lagi menerima rezim pemikiran WASP sebagai nilai tertinggi di Amerika, tetapi menjelmakan ide persamaan dan antidiskriminasi.

Ketiga, gerak maju dan makin dewasa itu dimungkinkan karena rakyat Amerika menganut sistem politik demokrasi. Dengan dan dalam sistem demokrasi, rakyat bisa berdialog dan saling menguji ide dan pemikiran secara terbuka dan beradab untuk menemukan keinginan umum (general will) atau kebaikan publik (public good).

Vox Dei

Rakyat adalah sumber kebijakan. Suara Rakyat Suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei). Pilihan rakyat Amerika itu sebenarnya adalah mandat dari rakyat kepada Obama untuk mengubah kebijakan dan politik luar negerinya. Rakyat di sana tidak mau negaranya terus-menerus menduduki Iraq dan menginginkan pasukannya segera keluar dari sana.

Rakyat tidak mau pemerintahnya terus-menerus mengambil sikap unilateral dan mengabaikan diplomasi, tetapi menginginkan kerja sama internasional (multilateral) dan menggunakan soft power lebih banyak daripada hard power.

Rakyat menghendaki pemerintahnya berdialog dan berkomunikasi dengan para pemimpin negara lain, termasuk dengan pemimpin negara-negara yang dianggap sulit dan bermusuhan.

Kemenangan Obama juga menunjukkan bahwa rakyat Amerika menjadi semakin dewasa. Nilai persamaan di segala bidang, termasuk di bidang politik, benar-benar menjadi nilai yang menjadi nyata.

Di mana pun, termasuk di sini, ada nilai-nilai ideal yang diakui. Tetapi, nilai-nilai ideal itu tidak akan berarti apa-apa kalau tidak dilaksanakan dalam kehidupan nyata.

Terpilihnya Obama memberikan bukti kepada masyarakat majemuk bahwa multikulturalisme adalah jawaban terbaik untuk masyarakat yang majemuk dan harus diperjuangkan. Rakyat Amerika mendarahdagingkan mimpi atau nilai ''siapa pun boleh dan bisa menggapai cita-citanya, asal mau dan mampu." Yang menentukan terwujudnya mimpi itu adalah kesiapan dan kemampuan diri, bukan warna kulit, agama, etnis, asal-usul genetika, gender, dan ciri-ciri demografis lainnya. Atau, alasan kulit, etnis, asal-usul, dan gender tidak boleh menentukan secara diskriminatif seorang Amerika untuk mewujudkan mimpinya.

Obama dipilih karena dia dianggap lebih mampu memimpin rakyat dan bangsa Amerika daripada calon-calon yang lain. Ide itu sudah menjadi praktis dan mengidepraksiskan sesuatu itu hanya bisa dilakukan oleh orang atau masyarakat yang dewasa.

Keunggulan Demokrasi

''Jika masih ada orang di luar sana yang meragukan bahwa Amerika adalah tempat di mana semua hal mungkin; yang� masih mempertanyakan kekuatan demokrasi Amerika, malam ini adalah jawaban Anda,'' kata Obama.Rakyat Amerika bisa berproses menjadi semakin dewasa karena sistem politik demokrasi memang memberikan peluang dan menjadi wadah yang tepat untuk proses itu. Dalam proses politik demokrasi, berlangsung uji dan persaingan gagasan serta argumentasi yang terbuka dan sehat. Dalam sistem demokrasi, nilai-nilai yang terbaik diperjuangkan dan diuji bersama-sama melalui adu argumentasi secara terbuka.

Dengan proses rekrutmen pemimpin melalui nominasi partai dan persaingan antarpartai, rakyat bisa menilai secara beradab dan saksama calon-calon presidennya. Walaupun proses itu berlangsung begitu lama, melelahkan, dan mungkin mahal, namun dibandingkan dengan sistem-sistem politik lainnya, sistem politik demokrasi ternyata lebih unggul dalam memelihara sumber kebijakan.

Kita di sini sudah memutuskan untuk menegakkan sistem demokrasi. Dengan demokrasi, maka nilai-nilai kebaikan bagi masyarakat dan bangsa ditawarkan serta diuji secara terbuka dan bermartabat. Bukan dengan cara tertutup dan berdarah-darah. Kita percaya bahwa dengan demokrasi, maka perkembangan masyarakat akan berjalan sehat dan bijaksana. Artinya, dengan demokrasi, akan tercapai kebijaksanaan masyarakat atau kebaikan umum atau kehendak umum.

Tulisan ini dibuat oleh: I Basis Susilo MA , dekan dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga, mengajar mata pelajaran Sistem Politik Amerika di Jurusan Hubungan Internasional (HI)

Sumber: http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=33990

 
  Obama, Kemenangan Hapus Diskriminasi
Kemenangan Barack Obama dalam pilpres di Amerika Serikat tidak hanya disambut dan disyukuri di negeri adikuasa itu sendiri. Tampaknya, dunia pun ikut bersorak gembira. Barack Obama menorehkan namanya dalam sejarah sebagai presiden kulit berwarna pertama AS.

Namun, saya kira, bukan karena ini benar, dunia menyambut gembira kemenangan Obama.

Saya kira, kegembiraan dunia itu lebih merupakan ekspresi lega. Dunia selama ini demam berat, sulit tidur, akibat pemimpin-negara-paling-kuasa-nya sakit seperti kerasukan hantu hutan.

Seperti diketahui, George W. Bush, yang -entah bagaimana bisa- dua priode menjadi presiden, arogansinya telah melahirkan atau menyuburkan dendam dan kebencian di mana-mana. Sikap ngawurnya telah mengembangbiakkan terorisme dunia.

Tidak usah jauh-jauh. Tanyakanlah kepada para "pejuang agama" atau mujahidin kontemporer di negeri kita ini, mengapa mereka begitu menggebu-gebu meneriakkan "Allahu Akbar!", siap mengasah pedang dan mati syahid. Tanyakan kepada Amrozi cs, mengapa tertarik ikut latihan militer di Afghanistan dan dengan cengengesan melecehkan kematian di negerinya sendiri? Tanyakan kepada mereka yang bersimpati kepada Trio Bom Bali itu. Sebelum hati kecil mereka menjawab, insya Allah akan melintas terlebih dahulu dalam benak mereka wajah "kafir paling kafir": si Bush dan Amerikanya.

Selama ini Amerika Serikat khususnya di bawah kepemimpinan Bush telah membuat pergaulan dunia tidak nyaman. Akibat kengawurannya tidak hanya dirasakan oleh mereka yang �langsung terlalimi seperti di Iraq dan Afghanistan, tapi berdampak global dan menyangkut banyak aspek.

Dari sudut "akidah", misalnya, kebijakan pemerintah Amerika yang tidak bijak selama ini minimal telah memperkukuh "iman" orang-orang muslim lugu akan adanya kekuatan besar yang memusuhi Islam. Amerika dan sekutunya adalah kafir-kafir besar yang sengaja akan menghancurkan Islam; maka harus diperangi. Celakanya lagi, karena keluguan mereka, setiap orang yang tidak ikut mengimani itu atau tidak setuju dengan mereka, dianggap antek Amerika yang harus diperangi juga.

Demikianlah para pemilih di negara besar yang baru tuntas menghapus diskriminasi rasial tahun 1970 itu akhirnya memilih Barack Hussein Obama II untuk menjadi presiden ke-44 AS, menggantikan si Raja Teror George W. Bush. Dunia pun lega. Setidak-tidaknya, mimpi buruk bersama cowboy mendem George W. Bush sudah berakhir.

Tinggallah harapan dunia pada Obama. Apakah Obama benar-benar bisa mewujudkan ''perubahan" yang selama ini ia canangkan. Perubahan yang tidak hanya dirasakan manfaatnya oleh rakyat Amerika, tetapi juga oleh masyarakat dunia. Setidaknya, kengawuran di masa Bush bisa berubah menjadi akal sehat dan keadilan. Arogansi dan keangkuhan adidaya berubah menjadi ketawadukan dan kearifan. Kecurigaan dan kebencian berubah menjadi kepercayaan dan kasih sayang. Pengaruh buruk berubah menjadi pengaruh baik. Semangat perang berubah menjadi semangat damai. Syukur panas dunia bisa berubah menjadi kesejukan.

Semoga.

Tulisan ini dibuat oleh: K.H. A. Mustofa Bisri , pengasuh pondok pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang

Sumber: http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=34158

 

Arsip
November 2008 /


Powered by Blogger

Berlangganan
Postingan [Atom]